JAKARTA - Transformasi besar kembali menguat di tubuh PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) setelah maskapai pelat merah itu menerima kucuran dana jumbo dari Danantara. Dukungan finansial tersebut membuat manajemen langsung mengakselerasi operasional armada yang sebelumnya tertahan akibat keterbatasan modal.
Melalui skema private placement, Garuda Indonesia mendapatkan persetujuan penyertaan modal senilai Rp23,67 triliun. Dana tersebut terdiri atas setoran tunai Rp17,02 triliun serta konversi utang pemegang saham atau shareholder loan (SHL) sebesar Rp6,65 triliun.
Perusahaan menegaskan bahwa efisiensi dan percepatan operasional menjadi prioritas utama pascapenerimaan dana. Fokus tersebut bertujuan mempercepat pemulihan yang sudah dijalankan sejak fase restrukturisasi sebelumnya.
Kucuran Modal Besar Dorong Akselerasi Armada Garuda dan Citilink
Dari total dana yang diperoleh, sekitar 37 persen atau Rp8,7 triliun dialokasikan sebagai modal kerja Garuda Indonesia. Penggunaan dana tersebut mencakup kebutuhan pemeliharaan pesawat dan berbagai biaya operasional penting lainnya.
Sementara itu, 63 persen atau Rp14,9 triliun diarahkan untuk mendukung operasional Citilink. Dana tersebut terbagi menjadi modal kerja Rp11,2 triliun serta pelunasan kewajiban pembelian bahan bakar kepada Pertamina untuk periode 2019 hingga 2021 senilai Rp3,7 triliun.
Dengan dukungan tersebut, Garuda bergerak cepat melakukan reaktivasi pesawat yang sebelumnya tidak beroperasi. Direktur Utama Garuda Indonesia, Glenny Kairupan menegaskan bahwa SHL dari Danantara memberi ruang perusahaan untuk menjaga serviceability atas 13 pesawat hingga November 2025.
Di sisi lain, Citilink juga ikut memanfaatkan momentum peningkatan modal dengan mereaktivasi 9 pesawat sejak September. Maskapai tersebut menargetkan jumlah pesawat siap operasi mencapai 36 unit pada akhir 2025.
Per Oktober 2025, Garuda Indonesia mengoperasikan 78 armada dengan 58 pesawat dalam kondisi serviceable. Sementara Citilink mengoperasikan 64 armada dengan 32 unit yang siap melayani berbagai rute.
“Dengan terjaganya serviceability pesawat baik di Garuda Indonesia maupun Citilink, kami melihat momentum pemulihan yang semakin solid,” ujar Glenny. Pernyataan tersebut menegaskan arah transformasi perusahaan yang berjalan konsisten sesuai rencana bisnis tahun ini.
Glenny menambahkan bahwa peningkatan kapasitas armada menjadi indikator kuat keberhasilan proses transformasi yang sedang berlangsung. Walaupun masih ada tekanan kerugian pada tahun berjalan, perusahaan tetap berada pada jalur pemulihan yang diharapkan.
Ia menjelaskan bahwa tren operasional dan pendapatan menunjukkan perbaikan konsisten. Penurunan beban usaha serta peningkatan utilisasi armada menjadi bukti bahwa fundamental usaha maskapai semakin menguat.
Kinerja Keuangan Masih Tertekan Namun Fondasi Operasional Menguat
Meskipun transformasi berjalan positif, Garuda Indonesia masih menghadapi tantangan besar dari sisi keuangan. Pada kuartal III/2025, perseroan mencatat rugi bersih sebesar US$182,53 juta, naik 39,1 persen secara tahunan dibandingkan rugi US$131,22 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Liabilitas Garuda tercatat lebih besar daripada asetnya. Total liabilitas mencapai US$8,28 miliar, sedangkan asetnya berada pada level US$6,75 miliar.
Dengan kondisi tersebut, ekuitas perseroan masih berada pada posisi negatif sekitar US$1,53 miliar. Situasi ini membuat manajemen perlu menempuh strategi efisiensi yang lebih agresif sembari menjaga performa operasional.
Di sisi operasional, selisih antara jumlah armada total dan pesawat yang serviceable masih menjadi isu strategis. Faktor eksternal seperti kurs, harga bahan bakar, dan biaya perawatan juga terus memberi tekanan pada pembukuan keuangan.
Meski demikian, Glenny optimistis bahwa perseroan mampu menjaga fondasi bisnis yang solid. Ia menegaskan bahwa penguatan efisiensi, peningkatan produktivitas armada dan kru, serta optimalisasi pendapatan penumpang dan kargo terus menjadi fokus utama perusahaan.
Upaya peningkatan pendapatan dilakukan melalui penguatan berbagai lini usaha. Penyesuaian strategi harga, peningkatan kapasitas kargo, dan optimalisasi jaringan terus diupayakan untuk mendukung kinerja keuangan.
Menurut Glenny, kombinasi efisiensi operasional dan peningkatan produktivitas akan menjadi motor utama pemulihan berkelanjutan. Ia menilai tren operasional saat ini menunjukkan arah yang semakin stabil bagi masa depan perusahaan.
Strategi Transformasi 2025 Fokus pada Tata Kelola dan Daya Saing
Wakil Direktur Utama Garuda Indonesia, Thomas Oentoro menegaskan bahwa dukungan Danantara memungkinkan manajemen memperkuat agenda strategis perusahaan. Berbagai inisiatif diarahkan untuk mendorong daya saing dan mempercepat pemulihan kinerja.
Salah satu fokus utama adalah optimalisasi jaringan dan rute penerbangan. Perusahaan berupaya menyesuaikan frekuensi berdasarkan profitabilitas yang berkelanjutan agar operasional berjalan lebih efisien.
Garuda juga menargetkan kontribusi lebih besar dari layanan charter dan ancillary revenue. Segmentasi ini akan memperkuat diversifikasi pendapatan dan mengurangi ketergantungan pada segmen penumpang reguler.
Optimalisasi keterisian kursi juga dilakukan melalui pendekatan strategic pricing yang lebih presisi. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan tanpa memberi beban berlebih pada pelanggan.
Thomas menegaskan bahwa transformasi tidak hanya berfokus pada peningkatan profitabilitas jangka pendek. Transformasi ini juga diarahkan pada fondasi tata kelola perusahaan dan kinerja berkelanjutan untuk memperkuat daya saing jangka panjang.
“Kekuatan kinerja operasional harus berjalan seiring dengan governance excellence, disiplin finansial, accountability business process dan penguatan value creation,” ujar Thomas. Ia menekankan bahwa seluruh inisiatif harus memberikan nilai tambah nyata bagi pengguna jasa, investor, maupun ekosistem aviasi nasional.
Menurutnya, setiap langkah transformasi harus memberikan dampak positif dan terukur. Pendekatan ini diyakini dapat mengembalikan posisi Garuda sebagai maskapai nasional yang kompetitif dan berkelanjutan.